Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) merupakan salah satu sejarah Indonesia yang hingga kini masih belum
diketahui kebenarannya. Surat yang berisi perintah penginstruksian untuk
mengatasi masalah keamanan setelah peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia (G30S PKI), ternyata menjadi titik awal lengsernya kepresidenan
Soekarno.
Siapa
orang yang berada dibalik peristiwa Supersemar ini? Menurut seorang saksi,
Sukardjo Wilardjito yang merupakan mantan pengawal Presiden Soekarno, ada empat
orang jenderal yang menghadap kepada Soekarno saat itu, bukan hanya tiga −M. Panggabean,
Amir Machmud dan Basuki Rachmat, tetapi juga ada M. Jusuf.
Diantara keempat saksi tersebut, M. Jusuf lah orang terakhir yang bertahan hidup.
Namun hingga akhir hayatnya, ketika ditanya mengenai kebenaran Supersemar ini,
Jusuf hanya menjawab dengan senyuman. Ia tidak mau menjelaskannya. Ini
menyebabkan kasus Supersemar tidak terungkap hingga hari ini. Seperti apakah
pribadi dari M. Jusuf itu sendiri?
Andi
Muhammad Jusuf Amir, salah seorang jenderal terbaik yang dimiliki oleh negara
Indonesia. Ia lahir di Kayuara, Bone Selatan, 23 Juni 1928. Tidak banyak
tulisan yang bisa mengungkapkan pria Bugis yang satu ini. Masalahnya, ia
sendiri selalu menolak untuk ditulis. Sikap ini diperteguh oleh kenyataan, M.
Jusuf bukan tipe orang yang dengan mudah mengumbar cerita. Ia amat pelit dalam
mengungkap sesuatu kepada publik, apalagi yang berkaitan dengan dirinya. Maka,
sosok sejati M. Jusuf hanya bisa dipahami melalui penuturan orang ke orang yang
kebetulan pernah dekat dan bekerjasama dengan dirinya.
M.
Jusuf memiliki prinsip yang mengutamakan kejujuran dalam hidupnya. Jusuf yakin
bahwa orang yang berwibawa merupakan orang-orang yang bebas mengambil keputusan.
Pemimpin yang bebas mengambil keputusan merupakan pemimpin yang berwibawa. Bagi
kebanyakan orang, Jusuf terkesan memiliki sikap tertutup dan seakan memiliki
wilayah kelabu. Kesan ini lahir karena Jusuf tidak suka untuk merepotkan orang
lain. Jusuf bukanlah orang yang akan bersenang-senang di atas kesedihan atau
kesusahan orang lain. Ia juga bukan orang yang suka ber-euphoria atas sebuh kejadian yang melibatkan orang lain. Oleh
karena itu, kejadian yang melibatkan Jusuf dan orang lain akan sulit dibeberkan
dan akan menjadi kejadian yang misterius.
Jusuf
dikenang sebagai seorang pemimpin yang amat jujur dan sederhana, watak yang
jarang dimiliki oleh pemimpin yang lain. Kesederhanaannya berbanding lurus
dengan kejujurannya. Meskipun beberapa dekade ia menjadi petinggi di Republik Indonesia,
kehidupannya sebagai Jusuf yang biasa dengan seorang Jusuf sebagai petinggi
tetap sama. Benda-benda atau peralatan yang digunakannya sehari-hari, amat jauh
dari kesan kenikmatan sesaat (glamour).
Dalam perspektif ini, M. Jusuf teguh memegang prinsip kepemimpinan Bugis,
seorang pemimpin yang berwibawa harus pemimpin yang berwatak malempu (lurus atau jujur).
Disamping
menjadi pemimpin yang jujur dan sederhana, M. Jusuf merupakan pimpinan TNI yang
sangat memperhatikan nasib prajurit dan peralatan-peralatan yang ada di TNI. Di
era kepemimpinannya, pembelian peralatan TNI dilakukan secara besar-besaran.
Kemudian, di saat menjadi Menhankam/Panglima TNI, M. Jusuf memperbaharui
peralatan-peralatan yang dimiliki oleh TNI. Salah satu diantaranya adalah
pesawat Hercules, pesawat yang juga menjadi pesawat terakhir yang mengantarnya
dari Jakarta ke Makassar, dengan tubuh rapuh sebelum akhirnya pergi untuk
selamanya.
Kini, Jendral yang diidolakan bangsa itu,
khususnya prajurit dan perwira TNI, terbaring tenang. Jusuf meninggal pada 8
September 2004 di daerah kelahirannya, Makassar. Usia tua dan tubuh yang sudah
rentan dengan penyakit membuatnya tidak mampu lagi membendung penyakit-penyakit
yang telah melilit tubuhnya itu. Kepergian Jenderal ini tentu amat berbekas di
kalangan TNI, sebab M. Jusuf adalah pimpinan TNI yang amat memperhatikan nasib
para prajuritnya.
0 comments:
Post a Comment