Friday 6 January 2012

"Backpacker" di Penghujung Tahun, Last Day.!

Friday 6 January 2012
   Baiklah, saatnya melanjutkan tulisan yang telah saya posting sebelumnya. Kali ini kisah perjalanan menuju Danau Singkarak yang berakhir di Bukittinggi. Kenapa bisa? Just read it.. !! (postingan kali ini cukup panjang, sediakan cemilan sebelum membacanya.. ^_^ )
 
     Keesokan harinya, setelah shalat subuh berjama’ah dan membersihkan diri di mesjid tersebut, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Keluar dari mesjid, suasana pasar yang kami temui sore kemarin berbeda 180 derajat dengan yang ditemui pagi ini. Sunyi. Sepi. Tapi ada juga terlihat aktifitas-aktifitas kecil yang sedang berlangsung. Pedagang mulai membuka toko-toko mereka. Oh ya, saya lupa memberi tahukan di tulisan sebelumnya kalau di sebuah persimpangan jalan dekat pasar tersebut, ada tiang listrik− dengan kabel listrik tentunya, yang menjulur kebeberapa arah, sambung menyambung dengan tiang listrik lainnya. Pada malam itu, di atas kabel tersebut berjejer sejenis burung yang berwarna hitam. “itu burung gereja ya?,” tanya saya sama Duni. “Bukannya burung wallet?” setelah saya perhatikan lagi, ternyata benar. Itu burung wallet dan jumlah mereka tidak sedikit. Sempat terpikir, kalau diambil dan dijual, bakal kaya. Haha. Burung-burung tersebut tidur disana sepertinya. Karena dari maghrib sampai malam kami kembali ke mesjid tempat menginap, burung tersebut masih bertengger dengan nyamannya disana. Kembali ke keadaan di pagi hari. Perhatian saya tertuju pada kabel tersebut, burung-burung itu sudah tidak ada lagi. Mencari makan mungkin, pikir saya.
    Kami pun langsung menuju terminal tempat angkot menuju danau singkarak berada−keberadaan terminal itu diketahui ketika bicara dengan bapak garin mushalla tadi malam. Terminal, tapi sepi. Apakah karena hari masih pagi atau memang seperti itu keadaannya (waktu itu sekitar jam 7 pagi). Ada beberapa angkot yang sedang ngetem. Awalnya kami tidak mau langsung berangkat, tapi berdiri dulu di sekitar terminal tersebut. Tapi setelah membuat kesepakatan, akhirnya langsung berangkat saja. “Ke Singkarak, Bang?” tanya saya  pada sopir. Mendapat anggukan, kami naik. Penumpang masih sedikit, waktu itu baru ada dua orang didalamnya, ditambah kami berdua jadi ber-empat, berlima dengan sopir tentunya. Bangku dalam angkot itu dibuat memanjang, sama dengan dengan angkot di padang. Tapi tidak dengan modifikasi dan speaker yang mengeluarkan suara keras. Saya duduk di bagian paling tepi dekat jendela belakang sedangkan Duni meilih duduk dekat pintu masuk. Untungnya angkot itu ngetem-nya tidak terlalu lama, jadi tidak banyak waktu terbuang untuk menunggu. Dari pasar raya Solok ke dermaga danau Singkarak memakan waktu sekitar 20 menit lebih. Selama di perjalanan, mata saya melihat-lihat keluar. Melihat bagaimana keindahan alam Solok dan kehidupan penduduk disana. Walaupun itu sedikit terganggu dengan keadaan jalan yang tidak semuanya baik. Masih ada jalan disana yang berlobang dan belum di aspal beton.
      Karena hari itu Sabtu dan harinya untuk ke sekolah, jadi ditengah perjalanan ada anak-anak sekolah yang juga naik angkot. Ada dari SD, SMP dan SMA (saya tahu itu dari bacaan yang ada pada baju yang mereka gunakan). Saya teringat dengan keadaan saya dulu. Harus berjalan kaki (terkadang mengayuh sepeda) sejauh lebih kurang 1Km untuk mencapai sekolah. Karena jika diibaratkan, rumah saya di hulu, sekolah di hilir. Beruntung mereka, pikiran yang datang dalam benak saya. Sudah ada alat transportasi yang memudahkan perjalanan. Angkot berhenti sesekali untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang sudah tau tujuannya. Sedangkan kami menunggu waktu hingga sopir bulang “Lah di Singkarak diak.”
   Masih dalam perjalanan, perhatian saya teralihkan dari melihat-lihat keluar, menjadi memperhatikan penumpang yang baru saja naik dan duduk disamping saya. Seorang Ibu dan anaknya yang masih kecil, SD kelas satu barangkali. Bisa jadi masih TK, saya tidak bisa memastikan. Karena setelah melihat baju yang ia gunakan, saya tidak bisa menemukan satu pun petunjuk. Ah, tidak penting. Anak itu duduk dengan tenang disamping ibunya. Pandangannya lurus kedepan dan sesekali ‘menarik’ ingus nya. Masih lucu. Ibu itu mengelus-elus pipi anaknya, merapikan bedaknya. Kemudian merapikan pakaiannya. Malaikat yang sedang menjaga titipan dengan penuh perhatian. Lali Ibu itu memasukkan tangannya ke dalam saku, lalu mengeluarkannya bersamaan dengan selembar uang bergambarkan pahlawan Imam Bonjol. Memberikannya pada buah hatinya. Anak itu menerima dengan tenang dan kemudian menggenggam erat dengan tangannya yang mungil itu. Awalnya ia cuma memegang uang tadi, tapi kemudian membuka gulungan uang itu dan merapikannya dan melipat baik-baik. Tidak boleh hilang, ini pemberian ibu. Mungkin itu yang dipikirkannya. Saya tersenyum dan berbicara daam hati, dari tadi saya banyak menerka. Aah, lagi-lagi saya teringat dengan kehidupan masa kecil dulu. Satu lagi, EMAK. Gimana kabar emak saya hari ini. Sedang apa beliau, sudah sarapan atau belum?. Tiba-tiba saya merinding.
    Saya terjaga dari lamunan karena tiba-tiba angkot berhenti. Ibu tadi turun bersama anaknya. Sekarang penumpang yang tinggal hanya kami berdua. “Ke singkarak kan dek,?” tanya sopir tadi. “Iya bang,” jawab kami. Sopir itu bilang kalau angkotnya cuma narik sampai situ. Nah, terus kami bagaimana? Masih di atas angkot, sopir itu bilang kalau sekarang kam isudah berada di dermaganya danau Singkarak. Saya pun melihat keluar. Ternyata benar, karena ada sebuah plang bertuliskan ucapan  selamat datang di salah satu objek wisata Sumatera Barat dari pemerintahan kota setempat. Kami pun turun. Melalui sebuah gapura yang memiliki atap berbentuk gonjong, kami memasuki area tersebut. Sepi. Begitulah keadaan disektar sana. Orang yang berjualan sedikit. Tidak ada orang yang menyediakan sewa benen untuk berenang. Tidak ada sepeda air. Tidak ada perahu. Tidak ada taman bermain. Padahal waktu saya pergi dengan keluarga dulu, semua itu ada. Bukan ini tempatnya, pikir saya.
    Tapi kami tetap pergi ke pinggir danau dan berjalan di sekitar sana. Kebetulan hari itu cuaca kurang bersahabat. Mendung dan sedikit gelap. Di dalam danau keliahatan ikan-ikan kecil, “ini kan yang namanya ikan Bilih kan,” ujar Duni pada saya. Ya. Itu lah ikan yang terkenal dari daerah Singkarak. Walapun sekarang orang-orang sudah membudidayakan juga di danau Toba, tetapi untuk masalah rasa, tetap yang asli Singkarak menang. Setelah berfoto-foto dan merasa cukup puas dengan keadaan yang ada disana, kami pun berniat untuk [indah ke tempat lain. Karena disana tidak ada bisa dilakukan selain hanya duduk dan melihat-lihat sekitar.
   Menurut Duni, ada tempat lain yang lebih ramai dari ini. Ia pernah waktu pulang kampung ke daerah asalnya-Palembang, berhenti di Singkarak. Seingatnya, tempat itu ada di tepi jalan. Banyak orang yang berjualan, khususnya jualan ikan Bilih. Dimana tepatnya letak daerah itu ia tidak ingat. Saya pun tidak tahu mau kemana lagi. Tiba-tiba ada dua orang siswi SMA yag datang. “Tanya adek itu aja yok,” ajak Duni. Sambil tertawa saya mengiyakan. Awalnya saya pikir Duni tadi bercanda. Saya terus berjalan ke arah luar. Duni tertinggal di belakang beberapa langkah. Ketika saya membalikkan badan, ternyata ia benar bertanya kepada adek SMA tadi. Saya pun menunggunya hingga selesai bertanya. Duni menghampiri saya, saya pun bertanya “bagaimana, tau mereka?”. “Kata mereka memang disini pusat wisatanya, tidak ada tempat lain,” jelasnya. Setelah berunding sejenak, kami pun sepakat untuk pindah tempat. Di luar, dekat gerbang masuk tadi saya melihat seorang bapak-bapak. “Tanya bapak itu saja.” Menjelang sampai di gerbang, ternyata bapak itu duluan beranjak dari tempatnya. Kami melihat ada kantor pos yang buka, didalamnya ada seorang bapak yang sedang sarapan. Kami pun memutuskan untuk bertanya sama bapak itu. Ketuk pintu, ucap salam dan dipersilahkan masuk. Kami pun langsung menyampaikan tujuan kami. Bapak itu dengan ramah memberi tahu kepada kami bahwa ada dua tempat lagi yang banyak dikunjungi orang kalau ke Singkarak. Tempat pertama berjarak sekitar 3 Km dari tempat sekarang (saya lupa nama tempatnya) sedangkan satu lagi bernama Tanjung Mutiara, jaraknya sekitar 30Km, jelas bapak tersebut. Bapak itu juga menunjukkan bagaimana caranya kami bisa sampai disana. Setelah berterima kasih, kami pun pamit.
      Sampai diluar, gerimis mulai turun."Kita backpacker-an kan?" tanya Duni pada saya. Saya mengiyakan. "Kalau gitu cari mobil pick-up buat ke tanjung mutiara," ucapnya. "Itu ada," kata saya sambil menunjuk ke arah kiri posisi kami berdiri. kebetulan disana ada sebuah mobil pick-up yang sedang parkir. Tapi sedikit kurang beruntung, gara-gara terlalu lama tawar menawar siapa yang akan pergi untuk berbicara dengan sopirnya, mobil itu terlebih dahulu pergi. Tinggallah kami berdua dengan kesempatan untuk naik mobil gratis yang baru saja pergi. “Bagaimana sekarang,” tanya saya sama Duni. “Tunggu mobil lain datang, kemudian stop,” ujarnya. Setelah menunggu beberapa menit, tidak ada mobil pick-up yang muncul. Belum patah semangat, kami tetap menunggu kedatangan mobil itu. Tapi tetap saja tidak ada yang melintas. Akhirnya diputuskan unutk naik bus saja. Kebetulan bus itu sesuai dengan yang ditunjukkan oleh bapak penjaga kantor pos tadi. Bus itu berhenti dan saya menanyakan kepada keneknya, apakah mobil ini nanti melewati daerah yang bernama Tanjung Mutiara atau tidak. Kenek tadi hanya diam. Saya tidak yakin apakah ia menjawb atau tidak. Kami tetap naik. Untuk sebuah bis yang bisa dibilang sudah tua (dilihat dari penampilannya), bis ini kencang juga larinya. Terkadang saya harus berpegangan pada kursi untuk mengurangi tekanan dan dorongan ketika bis itu me-rem atau meng-gas mendadak dalam kecepatan itu.
      Singkarak memang besar dan luas (danau terluas di Sumatera Barat). Hampir 15 menit kami di atas bis, masih saja terlihat hamparan air danau yang berwarna kebiruan itu. Karena sudah lama diatas bis, saya pun melihat-lihat keluar apakah sudah dekat dengan daerah Tanjung Mutiara. Atau jangan-jangan sudah terlewati dan kenek tadi tidak memberi tahukannya kepada kami. “Kalau kita tidak tau tempat berhentinya, berarti kita langusung ke Bukittinggi Dun,” jelas ku pada Duni. “Jangan sampai, tanya lagi sama keneknya,” jawabnya. Saya pun bertanya lagi pada kenek itu. Tapi ia tetap diam dan asik bergantungan di tepi pintu sebagaimana gaya kenek seperti biasanya. Akhirnya saya putuskan untuk pindah duduk di dekat pintu, sebelumnya saya duduk diseberangnya.
    Dua puluh menit sudah diatas bis, tapi keberadaan dari Tanjung Mutiara itu belum juga terlihat. Sabar. Nanti pasti ketemu, pikir positif saja dulu. Tiba-tiba saya melihat ada sebuah gerbang yang diatasnya ada tulisan Tanjung Mutiara. Buru-buru saya mengatakan kepada kenek untuk berhenti. Saya mengajak Duni turun dari Bis. Tapi ada kejadian yang sedikit lucu saat akan membayar ongkos. Keneknya bilang kalau total ongkos 14ribu. Saat saya merogoh saku untuk mencari uang, ternyata memakan waktu yang cukup lama untu mendapatkan uang pas. Mau dikasih 'Bung Tomo' rasanya akan menambah lama (sebenarnya memang uang itu yang tidak ada). Sopir bis tadi sudah tidak sabar. Ia menekan-nekan klakson pertanda untuk mempercepat, ditambah maambok bis nya hingga sedikit berjalan. Kenapa tidak langsung jalan saja sopir itu tadi, jadi saya tidak perlu membaya rongkos.
      Selesai masalah ongkos, kami pun beranjak ke dalam. Dari luar hingga mencapai tempat masuk tempat wisata itu ada sekitar 150 meter. Di sepanjang jalan, disebelah kiri dan kanan ada rumah penduduk setempat dan pohon-pohon yang cukup besar ukurannya. Ketika sedang asyik berjalan (waktu itu sudah hampir sampai) tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang sedang mendorong gerobak memanggil kami. Badan bapak tersebut besar dan berperawakan kasar ditambah dengan fisiknya nya agak gemuk. Awalnya saya pikir bapak itu mau tanya kami dari mana dan mau kemana seakan ada yang salah kami lakukan. Tapi ternyata tidak. Bapak itu meminta uang karcis masuk ke lokasi wisata itu. Lima ribu rupiah saja untuk berdua. 
    Daerah disana bergabung dengan rumah penduduk sekitar. hanya dibatasi dengan kawat duri yang dibentangkan dengan bantua ntiang setinggi 150cm. Disana saya menemukan apa yang tidak saya temukan di dermaga tadi. Mulai dari tempat bermain, ayunan, tempat duduk-duduk, orang-orang yang berjualan, sepeda air, perahu dan tempat penyewaaan benen untuk berenang. 
    Di tepi danau, kami melihat banyak orang-orang yang sedang sibuk bekerja dengan jaring yang terbentang. Dilihat dari dekat, ternyata mereka sedang  memilih hasil jaringan, Ikan Bilih. Ya. Ikan khas dari daerah Singkarak itu. Tak salah jika disekitar sana tercium bau amis. Sepertinya itu hasil tangkapan malam tadi.
    Dari beberapa fasilitas yang bisa digunakan disana, kami (Duni lebih tepatnya) tertarik untuk mencoba menaiki sepeda air. Kami yang sedang berdiri-diri di pinggir danau dihampiri oleh seorang bapak-bapak yang mengendarai sepeda air itu. Beliau pun menawarkan kepada kami untuk naik, "Dari atas sepeda itu bagus untuk foto-foto," kata Bapak itu karena melihat kami memegang kamera. Karena sudah ada niat untuk naik, maka kami terima. Tapi sebelum naik, seperti biasa, penyesuaian harga. Awalnya bapak itu bilang 40ribu berdua. Merasa terlalu mahal, maka terjadilah tawar menawar. "25ribu ya pak," saya yang menawar. "Tidak bisa nak, kalau mau kurang, 30 ribu ya nak?" bapak itu menawar balik. awalnya kukuh dengan 25 ribu. tapi karena kelihatannya bapak itu memang tidak mau kurang lagi dan dari belakang Duni merasa tidak keberatan dengan 30ribu, maka kami sepakat. Kami bertiga pun menaiki sepeda itu. Bapak tadi bersedia untuk mengayuh sepeda itu. Sedangkan kami duduk sambil sesekali berfoto untuk mengabadikan 'peristiwa' itu. Selama 'berjalan' diatas air, pemandangan disekitar danau (danau itu sendiri juga tentunya) terpampang dengan indah. Sekitar 10 menit, perjalanan itupun selesai. Turun. Bayar. Kamipun pindah ke lokasi lain dengan berjalan di pinggiran danau yang airnya jernih itu. Dan tidak lupa berfoto-foto pada spot yang rasanya rugi kalau tidak difoto.
    Ketika sedang asyik berjalan, tiba-tiba Duni tertawa keras. "Kenapa Dun ?," tanya saya. Masih tertawa, dia menunjuk ke depan kami. Tiga meter dari kami, ada tumpukan benen yang biasa disewakan untuk berenang di danau atau pantai. Nah, apa yang membuat Duni tertawa ? Pada benen tadi terdapat tulisan yang dibuat menggunakan cat minyak berwarna merah. Tulisannya terdiri dari lima abjad. J. E. F. R. I. Saya pun tertawa. Sejak kapan saya membuka usaha sewa benen di sini ?. Duni tadi spertinya belum puas menertawakan saya. Dia pun meminta untuk difoto diantara tumpukan benen tersebut. *Foto menyusul.
    Lelah berjalan dari tadi, kami pun mencari tempat untuk duduk. Dapat posisi yang nyaman, langsung saya duduk dan berbaring. Kebetulan kursi yang disediakan panjang, jadi bisa baringan disana. "Mau Mie, Je?" tanya Duni sambil menyodorka nsebungkus mie instan. Boleh juga. Sudah lama tidak makan mie instan kering. Selain itu bisa juga jadi pengganjal perut untuk sementara. Mie itupun habis dalam waktu yang tidak lama. Lpar memang, dari pagi belum ada sarapan. Sedangkan waktu itu sudah pukul 11, hampir tengah hari. Duni kembali sibuk menulis di buku catatannya. Saya pun sibuk dengan kegiatan sendiri, memotret apa yang keliatan. Haha.
    Istirahat sekitar 30 menit, kami pun berniat untuk meninggalkan tempat itu. Saya berencana langsung pulang ke rumah, Bukittinggi. Duni katanya mau berangkat ke Solok Selatan, ke rumah salah satu teman. Saya pun bertanya, apakah sudah yakin dan memberikan beberapa pertimbangan. Katanya dia akan tetap pergi. Baiklah, kata saya. Tapi saya tidak bisa menemani. Kami pun kembali berjalan kegerbang luar tadi. Sampai di luar, saya bertanya lagi apakh jadi ke Solok Selatan atau tidak. "Tidak," katanya. Baiklah, berarti itu artinya Duni akan ikut saya ke Bukittinggi dulu sebelum balik kembali ke Padang. Seperti diawal keberangkatan ke Tanjung Mutiara tadi pagi, kami berusaha untuk mendapatkan tumpangan gratis menuju Bukittinggi. Setidaknya sampai Padang Panjang, kemudian nyambung ke Bukittinggi. Menunggu bvebrapa menit, ada satu mobil pick-up yang datang. Di stop, tidak ada respon. Menunggu lagi. Cukup lama, yag lewat hanya Bus AKAP, Tru yang muatannya besar-besar, mobil pribadi, motor dan bis mini lainnya. Akhirnya datang satu lagi, di stop lagi. No Responses. Mobilnya tetap jalan. Menghadap kepada kami saja sopir nya tidak. Kare na sepertinya tidak ada lagi harapn, diputuskan (lagi) naik bis ke Bukittinggi via Padang Panjang.
    Satu jam perjalana, sampai juga akhirnya di Bukittinggi. Turun di Simpang Raya dekat pasar Aur Bukittinggi, saya bertanya sama Duni, ke Jam Gadang nya mau jalan kaki atau naik mobil. "Jaraknya ada sekitar 1km." Duni memutuskan untuk jalan. Maju jalan !! Sepuluh menit perjalanan, kami belum sampai di Jam Gadang karena jalannya perlahan tapi pasti (Capek dari tadi jalan terus, -___-). Sebelum ke Jam Gadang kami mencari mesjid dulu untuk shalat zuhur dan istirahat sebentar. Perjalanan dilanjutkan kembali.
   Jam Gadang pada hari itu ramai pengunjung. Weekend. *Nasii.. Nasii* Lapar. Belum makan dari pagi hingga waktu itu jam 2 siang. Kami pun membeli nasi di salah satu rumah makandi dekat jam gadang. Bungkus saja. Lalu cari tempa tuntuk makan. tepatnya di dekat tugu Pahlawan tak Dikenal. Akhirnya tenaga pun pulih kembali. Sebelum beranjak ke tempat lain. kami 'menenangkan' perut terlebih dahulu. Duduk-duduk sekitar 10 menit, kamipun sipa untuk melangkahkan kaki kembali. Duni mengajak untuk pergi ke Lubang Jepang. Salah satu Objek Wisata yang akan dikunjungi jika berwisata ke kota Bukittinggi.
   Setelah menunaikan kewajiban sebelum mendapatkan hak selama di lubang jepang dan panorama, kiami pun 'menguber-uber' lubang jepang. Berjalan dari lorong satu ke lorong yang lain. Satu hal yang penting, ingat jalan. Kalau tidak nanti kesasar. Didalam kami berfoto ria, tertawa nggak jelas. Berhubung melihat dinding yang banyak coretan oleh pngunjung sebelum-sebelumnya, kami juga berniat untuk mengukir nama di dinding lobang jepang itu. Tapi apa daya, sarana dan prasarana tidak mencukupi. tidak jadi lah niat itu tersampaikan. Puas berjalan di dalamnya, kami keluar dan lanjut ke panorama. Melihat keindahan Ngarai Sianok.
    Dijalan menuju Panorama, banyak monyet yang berkeliaran. Diantaranya ada yang jinak dan ada juga yang suka menyerang dengan tiba-tiba. Kebetulan waktu kami berjalan dekat mereka, ada seekor monyet yang mendekati seorang Ibu-ibu yang sedang mengendong anaknya. Untungnya monyet itu tidak menyerang Ibu dan ank itu, tapi ia mengambil makanan Ibu tersebut. Monyet itu berhasil mendapatkan satu botol minuman Pulpy Orange (Enak tu Monyet, Gratis. Tapi nggak halal, haha) Ibu tadi tidak marah, malahan tertawa dan menyuruh orang yang ada disekitar sana untuk memotret nya. Saya juga tidak ketinggalan memotretnya. Tapi ma'af, foto menyusul ^,^v.
   Tinggalkan monyet itu dengan kesenangannya, kami lanjut ke Panorama. Melihat keindahan Ngarai Sianok dan alam sekitarnya yang menyejukkan mata dengan kehijauannya. Puas berfoto dan menyaksindahan alam disana dan waktu Ashar sudah masuk, kami pun keluar dari objek wisata itu dan kembai ke Jam Gadang. Di Jam Gadang juga dilakukan sesi pemotretan sedikit. Lalu lanjut ke Mesjid untuk shalat 'Ashar. Selesai shalat, Duni katanya mau beli makanan khas bukittinggi untuk di bawa pulang, Kerupuk Sanjai. Kami pun masuk kepasar dan mencari nya. Dapat apa yang dicari, maka berakhir lah perjalanan "Backpacker ala Jono" itu. Duni kembali ke Padang, sedangkan saya pulang kerumah. Sebelum balik ke Padang (besoknya dia langsung ke kampungnya di Palembang), dia berkata, " Jangan jera ya !" Saya mengiyakan dan bersalaman sebagai tanda berpisahan karena akan bertemu lagi sekitar sebulan kedepannya. haha


Ya, begitulah sedikit pengalaman yang kami dapatkan selam perjalanan dua hari, Padang-Solok-Tanah Datar-Bukittinggi. Sudahkah masuk ke dalam kriteria Backpacker ? Masing-masing kita punya jawabannya. Tulisan ini nantinya akan di updat lagi dengan foto-foto di lokasi kejadian.. :) Stay Tuned.. !!!
*Jika tidak ada halangan dan diberi kesempatan, maka perjalanan ini akan berlanjut ke Palembang dan BALI.. !! Terimakasih.. *pamit* *jari udah keriting gara2 ngetik*. Semoga tidak bosan membacanya.
Padang, 06 Januari  2012, 02.00 Am..   *I'm Twenny Now.. ^__^

0 comments:

Post a Comment

 
Kotak Hitam © 2008. Design by Pocket